HALIMUN SALAK ANTARA ANEKA HAYATI DAN ANEKA TAMBANG
Perubahan fungsi kawasan hutan diamanatkan dalam Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 19) disebutkan bahwa perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselengarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompentensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan fihak lain lain yang terkait. Perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila areal kawasan yang dirubah fungsi memenuhi criteria dan standar penetapan fungsi hutannya. Kawasan hutan konservasi melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, pengelolaannya lebih kepada menjaga kelestarian lingkungan namun kurang memperhatikan aspek ekonomis dan aspek sosial. Sehingga dalam pelaksanaan dilapangan menimbulkan dikotomi yang saling bertolak belakang antara aspek ekonomis dan aspek sosial disatu sisi dan disisi lain adalah persoalan lingkungan.
Halimun dan salak adalah dua buah kata yang belakangan ini menjadi perhatian beberapa kalangan. Istilah tersebut berasal dari nama kelompok Hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Isu Halimun Salak muncul setelah keluanya Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 Ha di
Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Pertimbangan perluasan TNGHS adalah bahwa kelompok hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Dengan keluarnya keputusan Menteri tersebut membawa konskwensi penafsiran yaitu kepastian hukum, kepastian usaha dan kepastian wilayah kerja perusahaan.
2. DAMPAK KEBERADAAN TAMBANG
Konservasi dan tambang adalah dua hal yang satu bertentangan dengan yang lainnya. Dan di Indonesia statement negatif akan keberadaan tambang cukup meluas, mungkin ulah beberapa kegiatan tambang yang tidak melaksanakan kewajiban merehabilitasi atau mereklamasi areal bekas tambang, bahkan terkesan meninggalkan begitu saja dan menyisakan kubangan-kubangan besar dengan kondisi yang tercemar. Sering diartikan bahwa tambang identik denan kerusakan lingkungan.
Menurut kajian Badan Planologi Kehutanan : 2005
Keberadaan kegiatan tambang dalam kawasan TNGHS mempunyai dampak yaitu dampak negatif : Konversi hutan banyak terjadi dipinggiran-pinggiran kawasan hutan (perbatasan), hal ini cukup membahayakan mengingat bentuk kawasan TNGHS yang berbentuk tidak beraturan (bentuk tangan). Sangat memudahkan terjadinya pemutusan areal kawasan (pragmentasi). Situasi dan kondisi pertambangan dalam kasawan hutan TNGHS terbagi dalam 13 Kecamatan dan 52 desa. Jumlah penduduk di dalam dan disekitar kawasan 16.000 Jiwa (Harada et al. 2003). Terdapat 347 Penambang Liar (TI) . PT . Antam Tbk, melakukan kegiatan penambangan dengan teknik/ sistem terowongan, mengunakan sianida dilengkapi dengan IPAL. Disamping itu adanya pertambangan di kawasan hutan TNGHS terutama oleh tambang Illegal. PT Antam berkaitan dengan pengelolaan tailing dan limbah. Komponen biofisik : kerusakan tanah dan lahan, hutan/vegetasi, penurunan kualitas air, sidimentasi badan air, pencemaran tanah, air dan sidimen sungai oleh Hg (S. Cikaniki, S. Cisadane), kontaminasi biota sungai oleh Hg (S. Cikaniki, S. Cisadane), kerusakan sistem hidrologi (neraca air, debit sungai). Penambangan secara illegal oleh PETI, telah berumur setua penambangan legal, sebagai pemacu aksesibilitas adalah pada saat multi krisis 1997, jumlah puncaknya th. 98/99, kurang lebih sebanyak 8000 orang. Teknik penambangan sistem terowongan, menggunakan merkuri tanpa memperdulikan lingkungan dan keselamatan, keadaannya jauh lebih merusak lingkungan. Lokasi PETI berupa spot-spot menyebar dalam hutan, dekat perkampungandan dalam kawasan KP PT Antam.
Disamping itu adapun dampak sosial adalah adanya konflik peti dengan PT Antam dan perambahan hutan.
3. Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Previae Lege Poenali
Adalah suatu azas yang bermaksud bahwa tiada suatu sanksi melainkan atas suatu ketentuan perundang-undangan yang terlebih dahulu menentukan. Dengan kata lain bahwa tidak boleh suatu ketentuan perundang-undangan berlaku surut.
Dengan telah diterbitkannya Surat Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003 atau penunjukan perluasan Taman Nasional Halimun Salak, pihak III yang melakukan beberapa kegiatan di luar sektor kehutanan yang telah mendapat ijin antara lain PT. ANTAM (ANEKA TAMBANG) dan PERTAMINA (UNOCAL) , perusahaan yang bergerak dibidang tambang mendadak sontak kebingungan. Karena areal kerja mereka termasuk kawasan hutan yang menjadi Taman Nasional. Kegiatan mereka yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan, kini menjadi kegiatan yang berdosa alias melanggar Undang-Undang karena menurut Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan dan Undang – Undang Nomor 5 Th. 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa dalam kawasan konservasi tidak diperkenankan adanya kegiatan diluar sektor kehutanan, kecuali beberapa kegiatan yang telah ditentukan. Terlebih lagi dalam amar keputusan Menteri tersebut tidak adanya klausul peralihan terhadap ijin-ijin pihak III yang telah exis selama ini. Pemahaman tersebut terpolarisasi menjadi dua ruang penafsiran, yang satu berpendapat dengan ditunjuk menjadi Taman Nasional kegiatan tambang melangar hukum sehingga kegiatan mereka harus dihentikan, sedangkan pendapat yang lain dengan pendekatan prinsip keadilan dan asas hukum tidak berlaku surut maka hal tersebut masih diperkenankan sampai ijin persetujauan pengunaan kawasan hutan berakhir. Berdasarkan azas hukum tidak berlaku surut maka kegiatan tambang dan ijin yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan tetap berlaku hingga jangka waktunya berakhir. Persoalannya apakah kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dapat dilakukan penyimpangan? Penyimpangan kontrak dapat dilakukan dengan syarat pihak – pihak yang melakukan perjanjian sepakat untuk melakukan penyimpangan. Jadi disini terdapat celah kompromi, karena itu manfaatkanlah seoptimal mungkin ruang kompromi tersebut.
4. Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Dilematis permasalah tersebut menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi. Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada pada posisi yang lemah.
Kedua azas hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum, dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan adalah kepastian hukum.
5. Konservasi existing Kontrak dan Manajemen Kolaboratif.
Dari beberapa pembahasan yang dilaksanakan, penulis pernah ikut dalam diskusi, berkembang pemahaman yaitu tetap dilakukan perluasan Taman Nasional., dengan desain zone khusus atau dengan nomenklatur zonasi lainnya. Jadi areal tambang ditetapkan sebagai zona khusus. Namun pendekatan model ini masih bertentangan dengan UU No. 41 Th. 1999 yaitu tambang tidak dibenarkan dalam kawasan konsevasi. Disamping itu menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Th. 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan pengunaan kawasan Hutan, Pasal 8 ayat (3) bahwa Taman Nasional dibagi kedalam tiga zonasi yaitu zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Dalam penjelasan dijelaskan bahwa zona lainnya adalah zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan zona lainnya. Sehingga pengaturan kegiatan pertambangan dalam zonasi adalah dua kegiatan yang secara filosofis satu dan lainnya bertentangan. Lalu bagaimana dengan Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam pasal 1 butir 3 dirumuskan bahwa kolaborasi adalah “pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawaana Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud para pihak meliputi Pemerintah Pusat termasuk Kepala UPT KSDA/TN, Pemda, kelompok masyarakat setempat, perorangan baik dari dalam maupun luar negeri, lembaga swadaya masyarakat setempat, national, regional dan internasional yang bekerja dibidang konservasi sumber daya alam hayati, BUMN, BUMD, BUMS atau perguruan tinggi/lembaga ilmiah/lembaga pendidikan. Sebagai solusi dilematis kegiatan ekonomi dan konservasi manajemen kolaboratif telah dilaksanakan pada beberapa kawasan konservasi,. Jadi manajemen kolaborasi diberlakukan terhadap kegiatan-kegiatan diluar sektor kehutanan (seperti jalan, kegiatan tambang (tertutup), yang telah exis sebelum kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004, ditentukan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan melalui kerjasama (kolaborasi) antara pengelola kawasan konservasi dengan pihak perusahaan. Adapun kegiatan dimaksud antara lain penataan kawaan, penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA), pemanfaatan kawasan, penelitian dan pengembangan, perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, pengembangan sumber daya manusia dalam rangka mendukung pengelolaan KSA dan KPA, pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi dan pembinaan partisipasi masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya memberlakukan keputusan 175 tidaklah masalah, dengan catatan ijin-ijin pihak ke III yang telah ada sebelum perluasan Taman Nasional tetap berlaku hingga jangka waktunya berakhir.
6. SISI LAIN
Penunjukan kawasan hutan pada kenyataannya banyak menimbulkan persoalan dan kendala. Sering aturan yang dibuat malah menjebak dan menyulitkan kita sendiri, yang semestinya tidak perlu terjadi dan bisa diatasi melalui penetapan klausul pada amaar penetapan penunjukan. Adapun sisi lain yang memerlukan pemahaman dengan penununjukan kawasan hutan yaitu mana kala penunjukan tersebut berimplikasi pada perubahan fungsi yang menurut UU No. 41 Th. 1999 dipersyaratkan melalui tim terpadu. Sementara perubahan fungsi dalam penunjukan kawasan hutan tidak melalui tim terpadu. Disamping itu kekuatan hukum terhadap kawasan hutan yang baru pada tahap penunjukan, posisi hukumnya masih lemah. Tata batas belum dapat dilaksanakan karena adanya beberapa persoalan terhadap kawasan hutan yang akan ditata batas (pendudukan, perambahan dan atau klaim masyarakat).
4. PENUTUP
Pengelolaan hutan harus dapat memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial. Kenyataan selama ini dalam praktek sehari-hari ketiga prinsip tersebut berjalan sendiri-sendiri dan masing-masing secara argumentatif mengandung perdebatan. Idialnya bagaimana ketiga prinsif lestari berjalan sinergis. Berkaitan dengan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, menurut hemat penulis adalah penerapan Keputusan Menteri kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan beberapa catatan bahwa ijin-ijin pihak III yang telah ada tetap berlaku hingga jangka waktu yang ditentukan berakhir, merupakan kebijakan yang dapat mengakomodir beberapa aspek, tanpa mengabaikan aspek hukum. Bagi perusahaan akan dapat diharapkan terwujudnya kepastian usaha dan kepastian lahan, dengan demikian diharapkan kegiatan pihak ketiga disamping menyerap tenaga kerja, meningkatkan ekonomi lokal melainkan juga ANEKA TAMBANG dan ANEKA HAYATI dua istilah yang tidak pada posisi berhadapan, melalui kolaborasi , perusahaan dapat dibebani kewajiban-kewajiban, menjaga keamanan, kelestarian, yang lebih penting kewajiban rehabilitasi dan reklamasi harus lebih strik. Sebagai informasi PT Antam Tbk telah memperoleh prestasi Th. 2000, ISO 9002 (quality management). Th. 2001, ISO 14001 (Environtmental management).Terlepas dari semua itu, muncul pertanyaan, apakah dengan peningkatan fungsi kawasan hutan, kelestarian akan lebih terjamin ? Kawasan hutan produksi dan hutan lindung mendapat kontrol rutin dari aparat Perum Perhutani (di Jawa) atau aparat Dinas Kehutanan, setelah meningkat fungsi menjadi kawasan konservasi dibawah pengawasan BKSDA. Data menunjukan kondisi BKSDA sekarang dengan tenaga Polhut dan sarana pendukung sangat jauh dari memadai, penunjukan kawasan hutan konservasi di beberapa tempat justru kontraproduktif, yaitu pengamanan dan perlindungan kawasan menjadi kurang optimal
DAFTAR PUSTAKA
http://amisillymale.wordpress.com/
Undang-Undang karena menurut Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah No. 34 Th. 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003
Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar