Senin, 22 Februari 2010

Cara Mencari Arah Kiblat

Rabu, 28 Oktober 2009 | 08:50 WIB
KOMPAS.IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga menjalankan Shalat Jumat di halaman Masjid Raya Ganting, Padang, Sumatera Barat yang mengalami kerusakan akibat gempa, Jumat (2/10). Gempa bumi berskala 7,6 skala richter yang mengguncang Padang mengakibatkan sedikitnya 500 orang meninggal dan ribuan bangunan hancur. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Yuni Ikawati

KOMPAS.com - Arah kiblat menjadi prasyarat menjalankan ibadah shalat. Di mana pun umat Islam menjalankan ritual keagamaan itu, mereka harus berkiblat ke Kabah di Mekkah. Penentuan arah kiblat tentu tak masalah bagi mereka yang berada di dekat Kabah. Bagaimana memastikannya jika berada jauh dari tempat suci itu?

Beberapa waktu lalu di internet muncul tulisan Usep Fathudin, mantan Staf Khusus Menteri Agama, yang mengungkap beragam arah kiblat masjid-masjid di Jakarta. Kesahihan kiblat suatu masjid, menurutnya, perlu dicapai sebelum masjid dibangun. Hal itu karena pergeseran 1 sentimeter saja bisa berarti 100 kilometer penyimpangan jaraknya.

Meskipun begitu, menurutnya, akurasi arah kiblat 100 persen memang tidak diwajibkan dalam shalat, seperti tersebut dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 144, yang memerintahkan untuk shalat ke arah kiblat. ”Kata-kata ’ke arah’ ditafsirkan sebagai usaha maksimal mengarahkan shalat kita ke Kabah di Mekkah,” urainya.

Walaupun begitu, upaya untuk mendekati ketepatan arah ke kiblat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Usep menyebutkan, penentuan arah kiblat Masjid Al Mukhlishun di Griya Depok Asri, Depok Tengah, yang berdiri tahun 2001, menggunakan suatu kompas kecil berbahasa Inggris, dengan tulisan Latin dan Arab.

Pada alat penunjuk arah itu tertulis bahwa untuk Jakarta dan sebagian besar kota di Indonesia, arah utara jarum kompas harus menunjuk angka 9 sebagai arah kiblat.

Kenyataannya, survei arah kiblat yang dilakukannya di berbagai masjid besar di Jakarta memperlihatkan, kompas yang digunakannya menunjuk arah yang berbeda-beda di tiap tempat ibadah itu, berkisar dari 7,5 hingga 9.

Penentuan arah kiblat yang dipakai umumnya mengacu pada arah utara geografis sebenarnya, yang memakai arah kompas atau jarum magnetik yang disebut ”pencari arah Kabah”. Arah jarum magnetik di kompas mengarah berdasarkan kutub magnetik Bumi di kutub utara.

Ternyata arah utara magnetik Bumi itu berbeda di tiap kota dari waktu ke waktu. Hal ini dipengaruhi oleh rotasi Bumi. Penelitian menunjukkan arah utara magnetik terus bergeser sekitar 4,8 kilometer per tahun. Pada tahun 2005 pergeserannya mencapai 800 kilometer dari kutub utara sebenarnya. Pada 2050 diperkirakan utara magnetik Bumi mendekati Siberia.

Qibla Locator

Penggunaan kompas sebagai penunjuk arah kiblat belakangan memang dianggap kurang akurat. Belakangan diperkenalkan peranti lunak Qibla Locator yang termuat dalam situs web http://www.qiblalocator.com.

Qibla Locator atau penunjuk arah kiblat antara lain dirancang oleh Ibn Mas’ud dengan menggunakan peranti lunak aplikasi Google Maps API v2, sejak tahun 2006. Pengembangan tampilan dan aplikasinya kemudian melibatkan Hamed Zarrabi Zadeh dari Universitas Waterloo di Ontario, Kanada.

Pada Qibla Locator versi Beta seri 0.8.7 itu dilengkapi dengan geocoding dari Yahoo, pengontrol arah pada citra peta, dan indikator tingkat pembesaran. Hingga September 2007 dihasilkan empat versi Beta dengan beberapa aplikasi tambahan, Geocoder, dan tampilan jarak.

Dengan Qibla Locator yang berbasis Google Earth ini dapat diketahui arah kiblat dari mana pun kita berada. Untuk mengetahuinya, di bagian atas situs itu ada kotak untuk memasukkan lokasi, alamat atau nama jalan, kode pos, dan negara atau garis lintang dan garis bujur.

Maka di sisi kanan gambar peta akan muncul besaran arah kiblat atau kabah dan jaraknya dari posisi lokasi yang kita masukkan. Peranti lunak ini, menurut Thomas Djamaluddin, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sangat membantu guna mengecek arah kiblat secara akurat. ”Ini bisa untuk koreksi massal masjid-masjid di Indonesia,” katanya.

Bayangan matahari

Thomas, pakar astronomi dan astrofisika, mengemukakan bahwa ada penentuan arah kiblat yang menggunakan bayangan Matahari. Sekitar tanggal 26-30 Mei pukul 16.18 WIB dan 13-17 Juli pukul 16.27 WIB Matahari tepat berada di atas kota Mekkah.

Pada saat itu Matahari yang tampak dari semua penjuru Bumi dapat dijadikan penunjuk lokasi Kabah. Begitu pula bayangan benda tegak pada waktu itu juga dapat menjadi menentu arah ke kiblat.

Selain itu untuk daerah yang tidak mengalami siang, sama dengan Mekkah, waktu yang digunakan adalah saat Matahari di atas titik yang diametral dengan Mekkah. Waktu yang dapat dijadikan patokan penunjuk kiblat untuk wilayah tersebut adalah Matahari pada tanggal 12 hingga 16 Januari pukul 04.30 WIB dan 27 November hingga 1 Desember pukul 04.09 WIB.

Cara ini menurutnya paling mudah untuk mengoreksi arah kiblat, termasuk untuk garis saf di dalam masjid. Begitu mudah sehingga orang awam pun dapat melakukannya.

192 Negara Ikuti Konferensi Lingkungan di Bali

Senin, 22 Februari 2010 | 12:40 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com — Sebanyak 192 negara menghadiri pertemuan ke-11 Special Session of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) yang dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta, MS di Nusa Dua Bali, Senin (22/2/2010).

Dalam pertemuan ini, tiga hal utama yang menjadi pembahasan adalah kebijakan lingkungan internasional atau international environmental governance dan pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development), serta ekonomi hijau, ekosistem, dan keanekaragaman hayati (the green economy, biodiversity, and ecosystems).

Bagi Indonesia, pertemuan ini diharapkan dapat memberi beberapa keuntungan, di antaranya mendapatkan bantuan dari UNEP untuk peningkatan kapasitas dalam kaitannya dengan the economics ecosystems and biodiversity khususnya bagi pemerintah daerah, serta pembahasan hukum lingkungan (enviromental law) untuk menyepakati dua buah draf pedoman yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan nasional.

"Krisis global saat ini, yakni krisis ekonomi dunia dan krisis perubahan iklim, memberikan pelajaran yang berharga kepada seluruh bangsa di dunia. Krisis global hanya menyediakan pilihan untuk merubah pola pembangunan menjadi pembangunan yang tidak berpihak kepada pro-growth, namun juga pro-poor, pro-job, dan pro-environment," ujar Gusti Muhammad Hatta.

Dari pertemuan ini juga diharapkan dapat dihasilkan dua kesepakatan, yaitu Decision on Ocean yang merupakan tindak lanjut dari Manado Ocean Declaration dan Nusa Dua Declaration yang merupakan pesan politis tingkat tinggi.

SIKLUS HIDROLOGI


Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut.
Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda :

• Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

• Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

• Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.


HIDROLOGI
Hidrologi (berasal dari Bahasa Yunani: Yδρoλoγια, Yδωρ+Λoγos, Hydrologia, "ilmu air") adalah cabang ilmu teknik sipil yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh Bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Orang yang ahli dalam bidang hidrologi disebut hidrolog, bekerja dalam bidang ilmu bumi dan ilmu lingkungan, serta teknik sipil dan teknik lingkungan.
Domain hidrologi meliputi hidrometeorologi, hidrologi air-permukaan, hidrogeologi, manajemen limbah dan kualitas air, dimana air memiliki peranan penting. Oseanografi dan meteorologi tidak termasuk karena air hanya satu dari aspek penting lainnya.
Penelitian Hidrologi juga memiliki kegunaan lebih lanjut bagi teknik lingkungan, kebijakan lingkungan, serta perencanaan. Hidrologi juga mempelajari perilaku hujan terutama meliputi periode ulang curah hujan karena berkaitan dengan perhitungan banjir serta rencana untuk setiap bangunan teknik sipil antara lain bendung, bendungan dan jembatan.
Hidrologi merupakan kajian pergerakan, taburan, dan kualiti air di bumi. Bidang ini memberi perhatian khusus kepada fenomenon seperti kitar air dan sumber air.
Meteorologi dan oseanografi tidak termsuk dalam hidrologi kerana hidrologi merupakan kajian air secara menyeluruh. Contoh bidang dalam hidrologi ialah hidrometeorologi, hidrogeografi dan kualiti air.
Ilmu hidrologi digunakan untuk kejuruteraan alam sekitar, perancangan dan penggubalan dasar dan polisi.

Pencemaran Lingkungan

A. Macam-macam Pencemaran Lingkungan Berdasarkan Tempat Terjadinya
Menurut tempat terjadinya, pencemaran dibedakan menjadi pencemaran udara, air, dan tanah.

1.PENCEMARAN UDARA
Pencemaran udara disebabkan oleh asap buangan misalnya :

Pencemaran udara yang paling menonjol adalah semakin meningkatnya kadar CO2 di udara. Karbon dioksida itu berasal dari pabrik, mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi), juga dari mobil, kapal, pesawat terbang, dan pembakaran kayu. Gas CO2

Meningkatnya kadar CO2 di udara tidak segera diubah menjadi oksigen oleh tumbuhan karena banyak hutan di seluruh dunia yang ditebang. Sebagaimana diuraikan diatas, hal demikian dapat mengakibatkan efek rumah kaca.



Gas CO
Di lingkungan rumah dapat pula terjadi pencemaran. Misalnya, menghidupkan mesin mobil di dalam garasi tertutup. Jika proses pembakaran di mesin tidak sempurna, maka proses pembakaran itu menghasilkan gas CO (karbon monoksida) yang keluar memenuhi ruangan. Hal ini dapat membahayakan orang yang ada di garasi tersebut. Selain itu, menghidupkan AC ketika tidur di dalam mobil dalam keadaan tertutup juga berbahaya. Bocoran gas CO dari knalpot akan masuk ke dalam mobil, sehingga dapat menyebabkan kamatian.


Gas CFC
Pencemara dara yang berbahaya lainnya adalah gas khloro fluoro karbon (disingkat CFC). Gas CFC digunakan sebagai gas pengembang, karena tidak beraksi, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berbahaya. Gas ini dapat digunakan misalnya untuk mengembangkan busa (busa kursi), untuk AC (freon), pendingin pada almari es, dan penyemprot rambut (hair spray). Gas CFC yang membumbung tinggi dapat mencapai stratosfer terdapat lapisan gas ozon (O3). Lapisan ozon ini merupakan pelindung bumi dari pengaruh cahaya ultraviolet. Kalau tidakl ada lapisan ozon, radiasi cahaya ultraviolet mencapai permukaan bumi, menyebabkan kematian organisme, tumbuhan menjadi kerdil, menimbulkan mutasi genetik, menyebebkan kanker kulit atau kanker retina mata. Jika gas CFC mencapai ozon, akan terjadi reaksi antara CFC dan ozon, sehingga lapisan ozon tersebut “berlubang” yang disebut sebagai “lubang” ozon. Menurut pengamatan melalui pesawat luar angkasa, lubang ozon di kutub Selatan semakin lebar. Saat ini luasnya telah melebihi tiga kali luas benua Eropa. Karena itu penggunaan AC harus dibatasi.


Gas SO, SO2
Gas belerang oksida (SO, SO2) di udara juga dihasilkan oleh pembakaran fosil (minyak, batubara). Gas tersebut dapat beraksi dengan gas nitrogen oksida dan air hujan, yang menyebabkan air hujan menjadi asam. Maka terjadilah
hujan asam.
Hujan asam mengakibatkan tumbuhan dan hewan-hewan tanah mati. Produksi pertanian merosot. Besi dan logam mudah berkarat. Bangunan –bangunan kuno, seperti candi, menjadi cepat aus dan rusak. Demikian pula bangunan gedungdan jembatan.


Asap Rokok
Polutan udara yang lain yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokok. Asap rokok mengandung berbagai bahan pencemar yang dapat menyababkan batuk kronis, kanker patu-paru, mempengaruhi janin dalam kandungan dan berbagai gangguan kesehatan lainnya. Perokok dapat di bedakan menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok pasif.
Perokok aktif adalah mereka yang merokok.
Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok tetapi menghirup asap rokok di suatu ruangan. Menurut penelitian, perokok pasif memiliki risiko yang lebih besar di bandingkan perokok aktif. Jadi, merokok di dalam ruangan bersama orang lain yang tidak merokok dapat mengganggu kesehatan orang lain.


Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran udara antara lain :

1. Terganggunya kesehatan manusia, seperti batuk dan penyakit pernapasan (bronkhitis, emfisema, dan kemungkinan kanker paru-paru.

2. Rusaknya bangunan karena pelapukan, korosi pada logam, dan memudarnya warna cat.

3. Terganggunya oertumbuhan tananam, seperti menguningnya daun atau kerdilnya tanaman akibat konsentrasi SO2 yang tinggi atau gas yang bersifat asam.

4. Adanya peristiwa efek rumah kaca (green house effect ) yang dapat menaikkan suhu udara secara global serta dapat mengubah pola iklim bumi dan mencairkan es di kutub. Bila es meleleh maka permukaan laut akan naik sehingga mempengaruhi keseimbangan ekologi.

5. Terjadinya hujan asam yang disebabkan oleh pencemaran oksida nitrogen.


2.PENCEMERAN AIR
Pencemaran air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur, atau komponen lainnya kedalam air sehingga menyebabkan kualitas air terganggu. Kualitas air yang terganggu ditandai dengan perubahan bau, rasa, dan warna. Ditinjau dari asal polutan dan sumber pencemarannya, pencemaran air dapat dibedakan antara lain :

a. Limbah Pertanian Limbah pertanian dapat mengandung polutan insektisida atau pupuk organik. Insektisida dapat mematikan biota sungai. Jika biota sungai tidak mati kemudian dimakan hewan atau manusia orang yang memakannya akan keracunan. Untuk mencegahnya, upayakan agar memilih insektisida yang berspektrum sempit (khusus membunuh hewan sasaran) serta bersifat biodegradabel (dapat terurai oleh mikroba) dan melakukan penyemprotan sesuai dengan aturan. Jangan membuang sisa obet ke sungai. Sedangkan pupuk organik yang larut dalam air dapat menyuburkan lingkungan air (eutrofikasi). Karena air kaya nutrisi, ganggang dan tumbuhan air tumbuh subur ( blooming). Hal yang demikian akan mengancam kelestarian bendungan. bemdungan akan cepat dangkal dan biota air akan mati karenanya.

b. Limbah Rumah Tangga Limbah rumah tangga yang cair merupakan sumber pencemaran air. Dari limbah rumah tangga cair dapat dijumpai berbagai bahan organik (misal sisa sayur, ikan, nasi, minyak, lemek, air buangan manusia) yang terbawa air got/parit, kemudian ikut aliran sungai. Adapula bahan-bahan anorganik seperti plastik, alumunium, dan botol yang hanyut terbawa arus air. Sampah bertimbun, menyumbat saluran air, dan mengakibatkan banjir. Bahan pencemar lain dari limbah rumah tangga adalah pencemar biologis berupa bibit penyakit, bakteri, dan jamur.Bahan organik yang larut dalam air akan mengalami penguraian dan pembusukan. Akibatnya kadar oksigen dalam air turun dratis sehingga biota air akan mati. Jika pencemaran bahan organik meningkat, kita dapat menemui cacing berwarna kemerahan bergerombol.
Cacing ini merupakan petunjuk biologis ( bioindikator) parahnya pencemaran oleh bahan organik dari limbah pemukiman. Dikota-kota, air got berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Didalam air got yangdemikian tidak ada organisme hidup kecuali bakteri dan jamur. Dibandingkan dengan limbah industri, limbah rumah tangga di daerah perkotaan di Indonesia mencapai 60% dari seluruh limbah yang ada.

c. Limbah Industri Adanya sebagian industri yang membuang limbahnya ke air. Macam polutan yang dihasilkan tergantung pada jenis industri. Mungkin berupa polutan organik (berbau busuk), polutan anorganik (berbuaih, berwarna), atau mungkin berupa polutan yang mengandung asam belerang (berbau busuk), atau berupa suhu (air menjadi panas). Pemerintah menetapkan tata aturan untuk mengendalikan pencemara air oleh limbah industri. Misalnya, limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai agar tidak terjadi pencemaran. Dilaut, sering terjadi kebocoran tangker minyak karena bertabrakan dengan kapal lain. Minyak yang ada di dalam kapal tumpah menggenangi lautan dalam jarak ratusan kilometer. Ikan, terumbu karang, burung laut, dan hewan-hewan laut banyak yang mati karenanya. Untuk mengatasinya, polutan dibatasi dengan pipa mengapung agar tidak tersebar, kemudian permukaan polutan ditaburi dengan zat yang dapat menguraikan minyak.

d. Penangkapan Ikan Menggunakan racun Sebagia penduduk dan nelayan ada yang menggunakan tuba (racun dari tumbuhan atau potas (racun)untuk menangkap ikan tangkapan, melainkan juga semua biota air. Racun tersebut tidak hanya hewan-hewan dewasa, tetapi juga hewan-hewan yang masih kecil. Dengan demikian racun yang disebarkan akan memusnahkan jenis makluk hidup yang ada didalamnya. Kegiatan penangkapan ikan dengan cara tersebut mengakibatkan pencemaran di lingkungan perairan dan menurunkan sumber daya perairan.

Akibat yang dtimbulkan oleh pencemaran air antara lain :
a. Terganggunya kehidupan organisme air karena berkurangnya kandung
oksigen.

b. Terjadinya ledakan populasi ganggang dan tumbuhan air (eutrofikasi )
c. Pendangkalan Dasar perairan.

d. Punahnya biota air, misalnya ikan, yuyu, udang, dan serangga air.
e. Munculnya banjir akibat got tersumbat sampah.

f. Menjalarnya wabah muntaber.

3. PENCEMARAN TANAH
Pencemaran tanah banyak diakibatkan oleh sampah-sampah rumah tangga, pasar, industri, kegiatan pertanian, dan peternakan. Sampah dapat dihancurkan oleh jasad-jasad renik menjadi mineral, gas, dan air, sehingga terbentuklah humus. Sampah organik itu misalnya dedaunan, jaringan hewan, kertas, dan kulit. Sampah-sampah tersebut tergolong sampah yang mudah terurai. Sedangkan sampah anorganik seperti besi, alumunium, kaca, dan bahan sintetik seperti plastik, sulit atau tidak dapat diuraikan. Bahan pencemar itu akan tetap utuh hingga 300 tahun yang akan datang. Bungkus plastik yang kita buang ke lingkungan akan tetap ada dan mungkin akan ditemukan oleh anak cucu kita setelah ratusan tahun kemudian.

Sebaiknya, sampah yang akan dibuang dipisahkan menjadi dua wadah. Pertama adalah sampah yang terurai, dan dapat dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dapat dijadikan kompos. Jika pembuatan kompos dipadukan dengan pemeliharaan cacing tanah, maka akan dapat diperoleh hasil yang baik. cacing tanah dapat dijual untuk pakan ternak, sedangkan tanah kompos dapat dijual untuk pupuk.
Proses ini merupakan proses pendaurulangan ( recycle).
Kedua adalah sampah yang tak terurai, dapat dimanfaatkan ulang (penggunaulangan = reuse). Misalnya, kaleng bekas kue digunakan lagi untuk wadah makanan, botol selai bekas digunakan untuk tempat bumbu dan botol bekas sirup digunakan untuk menyimpan air minum. Baik pendaurulangan maupun penggunaulangan dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Keuntungannya, beban lingkungan menjadi berkurang. Kita tahu bahwa pencemaran tidak mungkin dihilangkan. Yang dapat kita lakukan adalah mencegah dampak negatifnya atau mengendalikannya. Selain penggunaulangan dan pendaurulangan, masih ada lagi upaya untuk mencegah pencemaran, yaitu melakukan pengurangan bahan/ penghematan (reduce), dan melakukan pemeliharaan (repair). Di negara maju, slogan-slogan reuse, reduce, dan repair, banyak diedarkan ke masyarakat.

Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah antara lain :
a. Terganggunya kehidupan organisme (terutama mikroorganisme
dalam tanah).

b. Berubahnya sifat kimia atau sifat fisika tanah sehingga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman.

c. Mengubah dan mempengaruhi keseimbangan ekologi.


B. Berdasarkan Macam Bahan Pencemaran
Menurut macam bahan pencemarnya, pencemaran terdiri dari :
a. Pencemaran kimiawi :
CO2 logam berat (Hg, Pb, As, Cd, Cr, Ni,) bahan raioaktif, pestisida,
detergen, minyak, pupuk anorganik.

b. Pencemaran Biolagi : mikroorganisme seperti Escherichia coli, Entamoeba
coli, Salmonella thyposa.

c. Pencemara fisik : logam, kaleng, botol, kaca, plastik, karet.

d. Pencemaran Suara : kebisingan. Pencemaran Suara (kebisingan) Dikota-
kota atau di daerah dekat industri / pabrik sering terjadi kebisingan. Pencemaran suara disebabkan oleh masuknya bunyi gaduh diatas 50 desibel (disingkat dB, merupakan ukuran tingkat kebisingan). Bunyi tersebut mengganggu kesehatan dan ketenangan manusia.
Kebisingan menyebabkan penduduk menjadi sulit tidu, bahkan dapat mengakibatkan tuli, gangguan kejiwaan, dan dapat pula menimbulkan penyakit jantung, gangguan janin dalam kandungan, dan stress.
Saat ini telah diusahakan agar mesin-mesin yang digunakan manusia tidak terlalu bising. jika bising harus diusahakan adanya isolator. menanam tanaman berdaun rimbun di halaman rumah meredam kebisingan. Bagi mereka yang suka mendengarkan musik yang hingar bingar, hendaknya mendengarkan di tempat khusus (misal di dalam kamar) agar tidak mengganggu orang lain.

C.BERDASARKAN TINGKAT PENCEMARAN
Menurut tingkat pencemarannya, pencemaran dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Pencemaran ringan, yaitu pencemaran yang dimulai menimbulkan gangguan ekosistem lain. Contohnya pencemaran gas kendaraan bermotor.

b. Pencemaran kronis, yaitu pencemaran yang mengakibatkan penyakit kronis. Contohnya pencemaran Minamata, Jepang.

c. Pencemaran akut, yaitu pencemaran yang dapat mematikan seketika. Contohnya pencemaran gas CO dari knalpot yang mematikan orang di dalam mobil tertutup, dan pencemaran radioaktif.


PARAMETER PENCEMARAN LINGKUNGAN
Untuk mengukur tingkat pencemaran diasuatu tempat digunakan parameter pencemaran. Parameterpencemaran digunakan sebagai indikator (petunjuk) terjadinya pencemaran dan tingkat pencemaran yang telah terjadi. Paarameter pencemaran meliputi parameter fisik, parameter kimia, dan parameter biologi.
1. Parameter Fisik
Parameter fisik meliputi pengukuran tentang warna, rasa, bau, suhu, kekeruhan,
Dan radioaktivitas.

2. Parameter Kimia
Parameter kimia dilakukan untuk mengetahui kadar CO2 , pH, keasaman, kadar logam, dan logam berat. Sebagai contoh berikut disajukan
pengukuran pH air, kadar CO2 , dan oksigen terlarut.

a. Pengukuran pH air
Air sungai dalam kondisi alami yang belum tercemar memiliki rentangan pH 6,5 – 8,5. Karena pencemaran, pH air dapat menjadi lebih rendah dari 6,5 atau lebih tinggi dari 8,5. Bahan-bahan organik biasanya menyebabkan kondisi air menjadi lebih asam. Kapurmenyebabkan kondisi air menjadi alkali (basa). jadi, perubahan pH air tergantung kepada macam bahan pencemarnya. Perubahan nilai pH mempunyai arti penting bagi kehidupan air. Nilai pH yang rendah (sangat asam) atau tinggi (sangat basa) tidak cocok untuk kehidupan kebanyakan organisme. Untuk setiap perubahan satu unit skala pH (dari 7 ke 6 atau dari 5 ke 4) dikatakan keasaman naik 10 kali. Jika terjadi sebaliknya, keasaman turun 10 kali.
Keasaman air dapat diukur dengan sederhana yaitu dengan mencelupkan kertas lakmus ke dalam air untuk melihat perubahan warnanya.

b. Pengukuran Kadar CO2 Gas CO2 juga dapat larut ke dalam air.
Kadar gas CO2 terlarut sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, dan banyaknya organismeyang hidup di dalam air. Semakin banyak organisme di dalam air, semakin tinggi kadar karbon dioksida terlarut (kecuali jika di dalam air terdapat tumbuhan air yang berfotosintesis). Kadar gas CO dapat diukur dengan cara titrimetri.

c. Pengukuran Kadar Oksigen Terlarut
Kadar oksigen terlarut dalam air yang alami berkisar 5 – 7 ppm (part per million atau satu per sejita; 1ml oksigen yang larut dalam 1 liter air dikatakan memiliki kadar oksigen 1 ppm).
Penurunan kadar oksigen terlarut dapat disebabkan oleh tiga hal :
1. Proses oksidasi (pembongkaran) bahan-bahan organik.

2. Proses reduksi oleh zat-zat yang dihasilkan baktri anaerob dari dasar perairan.

3. Proses pernapasan orgaisme yang hidup di dalam air, terutama pada malam hari. Pencemaran air (terutama yang disebabkan oleh bahan pencemar organik) dapat mengurangi persediaan oksigen terlarut. hal ini akan mengancam kehidupan organisme yang hidup di dalam air. Semakin tercemar, kadar oksigen terlerut semakin mengecil. Untuk dapat mengukur kadar oksigen terlarut, dilakukan dengan metode Winkler. Parameter kimia yang dilakukan melalui kegiatan pernapasan jasad renik dikenal sebagai parameter biokimia. contohnya adalah pengukuran BOD dab COD.
Pengukuran BOD
Bahan pencemar organik (daun, bangkai, karbohidrat, protein) dapat diuraikan
oleh bakteri air.
Bakteri memerlukan oksigen untuk mengoksidasikan zat-zat organik tersebut akibatnya, kadar oksigen terlarut di air semakin berkurang. Semakin banyak bahan pencemar organik yang ada di perairan, semakin banyak oksigen yang digunakan, sehingga mengakibatkan semakin kecil kadar oksigen terlarut. Banyaknya oksigen terlerut yang diperlukan bakteri untuk mengoksidasikan bahan organik disebut sebagai Konsumsi Oksigen Biologis (KOB) atau Biological Oksigen Demand yang biasa disingkat BOD. Angka BOD ditetapkan dengan menghitung selisih antara oksig terlarut awal dan oksigen terlarut setelah air cuplikan (sampel) disimpan selama 5 hari pada suhu20oC. Karenanya BOD ditulis secara lengkap BOD205 atau BOD5 saja. Oksigen terlarut awal diibaratkan kadar oksigen maksimal yang dapat larut di dalam air. Biasanya, kadar oksigen dalam air diperkaya terlebih dahulu dengan oksigen. Setelah disimpan selama 5 hari, diperkirakan bakteri telah berbiak dan menggunakan oksigen terlarut untuk oksidasi.
Sisa oksigen terlarut yang ada diukur kembali. Akhirnya, konsumsi oksigen
Dapat diketahui dengan mengurangi kadar oksigen awal dengan oksigen akhir
(setelah 5 hari).

3. Parameter Biologi
Di alam terdapat hewan-hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan mati karena pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan Planaria merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami pencemaran. Sebaliknya, cacing Tubifex (cacing merah) merupakan cacing yang tahan hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik,meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaab cacing tersebut dapat dijadikan indikator adanya pemcemaran zat organik. Organisme yang dapat dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis. Indikator biologis terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia. Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan limbahnya ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara kimia pada limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran. Tetapi tidak demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara terus menerus. Disungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos, mikroinvertebrata, ganggang, yang dapat dijadikan indikator biologis.


DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN
1. Punahnya Spesies Sebagaimana telah diuraikan, polutan berbahaya bagi biota air dan darat. Berbagai jenis hewan mengelami keracunan, kemudian mati. Berbagai spesies hewan memiliki kekebalan yang tidak sama. Ada yang peka, ada pula yang tahan. Hewan muda, larva merupakan hewan yang peka terhadap bahan pencemar. Ada hewan yang dapat beradaptasi sehingga kebal terhadap bahan pencemar., adpula yang tidak. Meskipun hewan beradaptasi, harus diketahui bahwa tingkat adaptasi hewan ada batasnya. Bila batas tersebut terlampui, hewan tersebut akan mati.

2. Peledakan Hama Penggunaan insektisida dapat pula mematikan predator. Karena predator punah, maka serangga hama akan berkembang tanpa kendali.

3. Gangguan Keseimbangan Lingkungan
Punahnya spasies tertentu dapat mengibah pola interaksi di dalam suatu ekosistem. Rantai makanan, jaring-jaring makanan dan lairan energi menjadiberubah. Akibatnya, keseimbangan lingkngan terganggu. Daur materi dan daur biogeokimia menjadi terganggu.

4. Kesuburan Tanah Berkurang
Penggunaan insektisida mematikan fauna tanah. Hal ini dapat menurunkan kesuburan tanah. Penggunaan pupuk terus menerus dapat menyebabkan tanah menjadi asam. Hal ini juga dapat menurunkan kesuburan tanah. Demikian juga dengan terjadinya hujan asam.

5. Keracunan dan Penyakit Orang yang mengkonsumsi sayur, ikan, dan bahan makanan tercemar dapat mengalami keracunan. ada yang meninggal dunia, ada yang mengalami kerusakan hati, ginjal, menderita kanker, kerusakan susunan saraf, dan bahkan ada yang menyebabkan cacat pada keturunan-keturunannya.

6. Pemekatan Hayati
Proses peningkatan kadar bahan pencemar melewati tubuh makluk dikenal sebagai pemekatan hayati (dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai biomagnificition.

7. Terbentuknya Lubang Ozon dan Efek Rumah Kaca
Terbentuknya Lubang ozon dan terjadinya efek rumah kaca merupakan permasalahan global yang dirasakan oleh semua umat manusia. Hal ini disebabkan karena bahan pencemar dapat tersebar dan menimbulkan dampak di tempat lain.

Usaha-usaha Mencegah Pencemaran Lingkungan :
a. Meenempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan atau
b. pemukiman penduduk.

c. Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencemari lingkungan atau ekosistem.

d. Pengawasan terhadap penggunaan jenis-jenis pestisida dan zat kimia lain yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

e. Memperluas gerakan penghijauan.

f. Tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan.

g. Memberikan kesadaran terhadap masyarakat tentang arti lingkungan hidup sehingga manusia lebih mencintai lingkungan hidupnya.

PENGERTIAN AIR TANAH

A. Apa Itu Air Tanah
Air tanah adalah air yang tersimpan/terperangkap di dalam lapisan batuan yang mengalami pengisian/penambahan secara terus menerus oleh alam. Dengan definisi tersebut, kondisi suatu lapisan tanah membuat suatu pembagian zona air tanah menjadi dua zona besar:



1. Zona air berudara (zone of aeration)
Zona ini adalah suatu lapisan tanah yang mengandung air yang masih dapat kontak dengan udara. Pada zona ini terdapat tiga lapisan tanah, yaitu lapisan air tanah permukaan, lapisan intermediate yangberisi air gravitasi dan lapisan kapiler yang berisi air kapiler

2. Zona air jenuh (zone of saturation)
Zona ini adalah suatu lapisan tanah yang mengandung air tanah yang relatif tak terhubung dengan udara luar dan lapisan tanahnya atau aquifer bebas.


B. Sifat-Sifat Air Tanah

Air tanah secara umum mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan, khususnya dari segi bakteriologis, namun dari segi kimiawi air tanah mempunyai beberapa karakteristik tertentu tergantung pada lapisan kesadahan, kalsium, magnesium, sodium, bikarbonat, pH, dan lain-lainnya.

1. Keuntungan:
a. Pada umumnya bebas dari bakteri pathogen.
b. Dapat dipakai tanpa pengolahan lebih lanjut.
c. Paling praktis dan ekonomis untuk mendapatkan dan membagikannya.
d. Lapisan tanah yang menampung air biasanya merupakan tempat pengumpulan air
alami.

2. Kerugian:
a. Air tanah sering kali mengandung banyak mineral-mineral seperti Fe, Mn, Ca dll
b. Biasanya membutuhkan pemompaan untuk menariknya ke permukaan. (Wardhana,1995).


SUMBER PENCEMAR AIR TANAH


A. Pengertian Polutan Dalam Air
Sebelumnya, kita perlu mengetahui arti dari pencemar itu sendiri. Polutan/pencemar dalam air mencakup unsur-unsur kimia, pathogen/bakteri dan perubahan sifat Fisika dan kimia dari air. Banyak unsur-unsur kimia merupakan racun yang mencemari air. Patogen/bakteri mengakibatkan pencemaran air sehingga menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang. Adapuan sifat fisika dan kimia air meliputi derajat keasaman, konduktivitas listrik, suhu dan pertilisasi permukaan air.
Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, pencemaran air (air permukaan dan air tanah) merupakan penyebab utama gangguan kesehatan manusia/penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di seluruh dunia, lebih dari 14.000 orang meninggal dunia setiap hari akibat penyakit yang ditimbulkan oleh pencemaran air.

B.Sumber Pencemar Air Tanah
Populasi manusia yang terus bertambah mengakibatkan kebutuhan manusia semakin bertambah pula, terutama kebutuhan dasar manusia seperti makanan, sandang dan perumahan. Bahan-bahan untuk kebutuhan itu semakin banyak yang diambil dari lingkungan. Disamping itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memacu proses industrialisasi, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Untuk memenuhi kebutahan populasi yang terus meningkatkan, harus diproduksi bahan-bahan kebutuhan dalam jumlah yang besar melalui industri.



Kian hari kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi. Karena itu mendorong semakin berkembangnya industri, hal ini akan menimbulkan akibat antara lain:

1. Sumber Daya Alam (SDA) yang diambil dari lingkungan semakin besar, baik macam maupun jumlahnya.

2. Industri mengeluarkan limbah yang mencemari lingkungan.



Limbah industri (industry waste) yang berbentuk cair dapat berasal dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air pada proses produksinya. Sedangkan limbah cair juga dapat berasal dari bahan baku cair sehingga system pengolahannya, air harus harus di buang.
Air pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel baik yang larut maupun mengedap. Bahan ini ada yang kasar dan halus. Kerapkali air dari pabrik berwarna keruh dan temperaturnya tinggi. Identifikasi air tercemar dapat dilakukan secara visual yaitu kekeruhan, warna air, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lain serta melalui pemeriksaan laboratorium. Apabila hasil pemeriksaan mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya dalam konsentrasi yang melampaui ambang batas, maka air dinyatakan tercemar.

3. Populasi manusia mengeluarkan limbah juga, seperti limbah rumah tangga yang dapat mencemari lingkungan.
Limbah rumah tangga merupakan pencemar air terbesar selain limbah-limbah industri, pertanian dan bahan pencemar lainnya. Limbah rumah tangga akan mencemari selokan, sumur, sungai, dan lingkungan sekitarnya. Semakin besar populasi manusia, semakin tinggi tingkat pencemarannya. Limbah rumah tangga dapat berupa padatan (kertas, plastik dll.) maupun cairan (air cucian, minyak goreng bekas, dll.). Di antara limbah tersebut ada yang mudah terurai yaitu sampah organik dan ada pula yang tidak dapat terurai. Limbah rumah tangga ada juga yang memiliki daya racun tinggi, misalnya sisa obat, baterai bekas, air aki. Limbah-limbah tersebut tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3). Tinja, air cucian, limbah kamar mandi dapat mengandung bibit-bibit penyakit atau pencemar biologis (seperti bakteri, jamur, virus, dan sebagainya) yang akan mengikuti aliran air.

4. Muncul bahan-bahan sintetik yang tidak alami (insektisida, obat-obatan, dan sebagainya) yang dapat meracuni lingkungan.
Dapatlah kita mengambil contoh sederhana, yaitu limbah pertanian berupa sisa, tumpahan ataupun penyemprotan yang berlebihan misalnya dari pestisida dan herbisida. Begitu juga pemupukan yang berlebihan. Limbah pestisida dan herbisida mempunyai sifat kimia yang stabil, yaitu tidak terurai di alam sehingga zat tersebut akan mengendap di dalam tanah, dasar sungai, danau serta laut dan selanjutnya akan mempengaruhi organisme-organisme yang hidup di dalamnya.
Contoh lainnya adalah Arsen. Arsen atau arsenik adalah zat yang sangat beracun, yang tidak berbau dan tidak berasa, sehingga sangat berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia, terutama bila tercampur pada air minum. Arsen juga merupakan elemen yang tersebar luas di mana-mana dengan sifat seperti mineral.
Kandungan arsen yang tinggi dapat merembes ke air tanah yang mana jika air tanah tersebut dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan. Selain itu juga arsen dalam tanah akan diserap oleh akar tumbuhan dan masuk ke dalam bagian-bagian tumbuhan sehingga tumbuhan mengandung arsen. Arsenik dalam air tanah bersifat alami, dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah. Jadi bisa dikatakan arsen atau arsenik merupakan unsur yang sudah ada dalam tanah.
Proses arsen menjadi salah satu penyebab pencemaran air tanah terletak pada proses penyerapan air hujan ke dalam tanah. Air hujan selain mengalir sampai ke laut juga ada yang masuk ke tanah. Dan dari sinilah proses pencemaran terjadi. Air yang masuk tersebut melewati lapisan-lapisan tanah yang mengandung arsen, karena arsen tersebar luas di dalam tanah. Air yang mengandung arsen tersebut akan terus masuk sampai ke air tanah dan akhirnya menyebabkan pencemaran air tanah.
Sebenarnya alam memiliki kemampuan untuk mengembalikan kondisi air yang telah tercemar dengan proses pemurnian atau purifikasi alami dengan jalan pemurnian tanah, pasir, bebatuan dan mikro organisme yang ada di alam sekitar kita. Namun jumlah pencemaran yang sangat masal dari pihak manusia membuat alam tidak mampu mengembalikan kondisi keseperti semula. Alam menjadi kehilangan kemampuan untuk memurnikan pencemaran yang terjadi. Sampah dan zat seperti plastik, deterjen dan sebagainya yang tidak ramah lingkungan akan semakin memperparah kondisi pengerusakan alam yang kian hari kian bertambah parah.



PENGARUH PENCEMARAN AIR TERHADAP MAKHLUK HIDUP

Diantara sekian banyak, ada yang beracun dan berbahaya serta dapat menyebabkan kematian. Logam-logam berat seperti arsen (As), kadmium (Cd), Boron (B), tembaga (Cu), fluor (F), timbal (Pb), air raksa (Hg), selenium (Se), seng (Zn), ada yang berupa oksida-oksida karbon (CO dan CO2), oksida¬oksida nitrogen (NO dan NO2), oksida-oksida belerang (SO2 dan SO3), H2S, asam sianida (HCN), senyawa/ion klorida, partikulat padat seperti asbes, tanah/lumpur, senyawa hidrokarbon seperti metana, dan heksana merupakan bahan-bahan pencemar yang terdapat dalam air. Ada yang berupa larutan ada pula yang berupa partikulat-partikulat, yang masuk melalui bahan makanan yang terbawa ke dalam pencernaan atau melalui kulit.



Bahan pencemar unsur-unsur di atas terdapat dalam air di alam ataupun dalam air limbah. Walaupun unsur-unsur diatas dalam jumlah kecil, namun diperlukan dalam makanan hewan maupun tumbuh¬tumbuhan, akan tetapi apabila jumlahnya banyak akan bersifat racun, contoh tembaga (Cu), seng (Zn) esensial untuk tanaman tetapi bersifat racun untuk hewan.
Air merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan di muka bumi terutama bagi manusia. Oleh karena itu apabila air yang akan digunakan mengandung bahan pencemar akan mengganggu kesehatan manusia, menyebabkan keracunan bahkan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian apabila bahan pencemar itu tersebut menumpuk dalam jaringan tubuh manusia.
Bahan pencemar yang menumpuk dalam jaringan organ tubuh dapat meracuni organ tubuh tersebut, sehingga organ tubuh tidak dapat berfungsi lagi dan dapat menyebabkan kesehatan terganggu bahkan dapat sampai meninggal.
Selain bahan pencemar air seperti tersebut di atas ada juga bahan pencemar berupa bibit penyakit (bakteri/virus) misalnya bakteri coli, disentri, kolera, typhus, para typhus, lever, diare dan bermacam¬macam penyakit kulit. Bahan pencemar ini terbawa air permukaan seperti air sungai dari buangan air rumah tangga, air buangan rumah sakit, yang membawa kotoran manusia atau kotoran hewan.
Zat-zat limbah yang masuk ke tanah di serap oleh tanaman dan tetap menetap di dalam tubuh tumbuhan itu, karena tumbuhan tidak dapat menguraikannya. Limbah industri yang mengotori tanah biasanya adalah pupuk yang berlebihan dan penggunaan herbisida serta pestisida. Zat pencemar yang menetap pada tumbuhan itu, terus berpindah melalui jalur rantai makanan dan jaring-jaring makanan. Sehingga perpindahan itu menyebabkan adanya zat pencemar dalam setiap tubuh organisme yang melangsungkan proses rantai makanan. Hal ini akan menimbulkan menurunnya kualitas organisme, berupa kurangnya ketahanan terhadap gangguan dari luar.
Selain pencemaran, kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh pengambilan sumber daya alam dan pemanfaatannya, serta pola pertanian. Kerusakan itu antara lain terjadinya erosi dan banjir. Kerusakan lingkungan yang menimbulkan banyak bencana menimbulkan gagasan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kerusakan itu. Manusia berusaha melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan dan mengadakan perbaikan terhadap kerusakan itu. Pencegahan kerusakan lingkungan dan pengusahaan kelestarian dilakukan baik oleh pemerintah maupun setiap individu.

CONTOH MASALAH

Inilah contoh masalah yang dihadapi kerena pencemaran air tanah :

Pencemaran Air Tanah di Jakarta Makin Parah
JAKARTA - Pencemaran air tanah di wilayah DKI Jakarta semakin parah. Hal ini membuat air ledeng dan air sumur bor tidak memenuhi syarat air minum. Tingginya pencemaran air mengakibatkan bakteri patogen, seperti E coli, masih terdapat dalam air ledeng. Hal itu diungkapkan Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPMPL) Hening Darpito kepada Pembaruan, Rabu (13/4), di Jakarta.
Menurut dia, khusus untuk air ledeng, sumber air atau air bakunya semakin berat. Penyebabnya, jelas dia, bahan pencemar yang mengontaminasi air tanah tidak hanya bahan anorganik seperti plastik, tetapi juga bahan organik yang bila diurai mikroorganisme akan larut dalam air. Akibatnya, pengolahan air baku semakin sulit. Di sisi lain, pihak pengelola air ledeng masih menggunakan pengolahan air tanah konvensional, seperti pemakaian tawas, kapur, dan kaporit.
Kaporit, sambungnya, merupakan senyawa akhir yang ditambahkan pada air ledeng yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Tetapi kaporit tidak 100 persen membunuh bakteri sehingga masih ada bakteri sekitar lima persen. Karena itu, dalam pendistribusian air ledeng ke rumah tangga, harus ada sisa kaporit (khlor) untuk membunuh bakteri patogen di sepanjang pipa yang dilalui air ledeng dari sumbernya sampai ke rumah tangga.
Namun, tuturnya, karena tingginya pencemaran, kadar klor menjadi nol sebelum air sampai ke rumah tangga. Inilah yang membuat air ledeng masih mengandung bakteri patogen.
"Agar air bebas dari patogen, diperlukan karbon aktif karena kalau hanya menggunakan tawas sudah tidak mampu lagi menghilangkan molekul bahan pencemar. Tetapi hal ini menambah biaya dan jarang dilakukan pengelola air ledeng. Akibatnya, beban masyarakat bertambah karena ada yang terpaksa memakai air minum dalam kemasan yang harganya tidak murah atau masyarakat masih harus merebus air minum sekitar 10 menit sekalipun sudah mendidih. Karena kalau hanya mendidih saja, kemungkinan bakteri patogen masih ada pada air minum," papar Hening. (N-4)

SOLUSI PENANGANAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

A. Pencegahan
Pada prinsipnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka pelestarian dan pencegahan kerusakan lingkungan akibat pencemaran air tanah , yaitu :

1. Tindakan Secara Administratif
Penanggulangan secara administratif dilakukan oleh pemerintah, dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan undang-undang. Antara lain peraturan pemerintahan yang disetujui DPR tanggal 25 februari 1982. Disahkan presiden tanggal 11 Maret 1982 menjadi UU No. 4 tahun 1982 yang berisi ketentuan pengelolaan lingkungan hidup ( UULH ). Sebelum membangun pabrik atau proyek lainnya, para pengembang diharuskan melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Analisis dampak dari berdirinya industri tersebut tujukan kepada pengelolaan santasi secara luas terhadap lingkungan sekitarnya. Pemerintah juga mengeluarkan baku mutu lingkungan, yaitu standar yang ditetapkan untuk menentukan mutu lingkungan. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan program yang meliputi berbagai sektor dalam pembangunan berkelanjutan sehingga diharapkan pembangunan dapat berlangsung lestari dengan mempertahankan fungsi lingkungan lestari.

2. Tindakan Melalui Edukatif/Pendidikan
Penanggulangan secara edukatif adalah dengan mengadakan kegiatan penyuluhan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kelestarian alam. Masyarakat rumah tangga mempunyai peranan yang cukup besar dalam pencemaran lingkungan, khususnya air akibat sampah rumah tangga. Karena itu perlu dipikirkan teknologi sederhana yang dapat diterapkan kepada masyarakat untuk mengelola sampah rumah tangga secara swadaya. Sampah rumah tangga secara umum dapat dibagi dua ada sampah anorganik seperti plastik, gelas dan kaca serta botol kaleng dan sampah organik, seperti sisa makanan, sisa sayuran dan lain-lain.
Sistem drainase suatu kawasan perumahan biasanya direncanakan sesuai dengan jumlah volume air permukaan yang berasal dari rumah-rumah per-blok dengan kondisi rumah yang standar (rumah belum dikembangkan). Kondisi ini yang membuat dimensi saluran drainase tidak dapat menampung lagi volume air permukaan sejalan dengan pengembangan rumah-rumah, yang berakibat terjadinya genangan-genanganair bahkan banjir pada kawasan tersebut dan sekitarnya.

3. Minimalisasi Limbah
Dalam minimisasi limbah, terdapat tiga hal yang harus dilakukan yaitu perubahan bahan baku industri, perubahan proses produksi, dan daur ulang limbah. Perubahan bahan baku dan perubahan proses produksi dimaksudkan untuk menekan jumlah limbah yang dihasilkan, termasuk di dalamnya adalah efisiensi pemakaian bahan-bahan penolong dalam proses produksi. Bila dalam proses produksi ini masih menghasilkan limbah, maka upaya minimisasi dilakukan dengan daur ulang atau pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan. Limbah yang dibuang ke lingkungan hanyalah limbah yang benar-benar tidak dapat dimanfaatkan kembali.

4. Tindakan sederhana yang Perlu Dilakukan oleh Masyarakat:
a. Tidak membuang sampah atau limbah cair ke sungai, danau, laut dll.
b. Tidak menggunakan sungai atau danau untuk tempat mencuci truk, mobil dan
sepeda motor
c. Tidak menggunakan sungai atau danau untuk wahana memandikan ternak
dan sebagai tempat kakus.
d. Tidak minum air dari sungai, danau atau sumur tanpa dimasak dahulu

B. Penanggulangan
Banyak cara untuk menanggulangi pencemaran air tanah ini, diantaranya :



1. Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan diatas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan sumur resapan air antara lain : (1) mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir dan erosi, (2) mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air tanah, (3) mengurangi atau menahan terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan wilayah pantai, (4) mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, dan (5) mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah
Dengan membuat lubang/sumur resapan, air hujan tidak langsung menuju saluran air, tapi meresap ke dalam tanah. Sehingga akan menambah kuantitas air tanah itu sendiri. Selain itu, lubang biopori ini mampu membuat organisme dalam tanah merubah sampah menjadi mineral yang dapat larut dalam air sehingga kualitas air tanah pun meningkat.

2. Tindakan dengan menggunakan teknologi penanggulangan secara teknologis, adalah dengan cara membangun unit pengolahan limbah. Misalnya unit pengolah limbah yang mengolah limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan. Jika pengolahannya menggunakan mikroba maka disebut pengolahan secara biologis dengan menggunakan bakteri pengurai limbah.

Namun, langkah-langkah tersebut perlu dukungan dan konsistensi dari masyarakat dan tentunya pemerintah sendiri. Apalagi mengingat kondisi air tanah sudah sangat mengkhawatirkan. Bila tidak ditanggulangi dengan cepat, masalah air tanah ini bisa menjadi bom waktu yang bisa menyengsarakan banyak orang.


Tanggapan
Air adalah sumber kehiduan yang memenuhi hajat hidup orang banyak, bahkan oleh seluruh makhluk hidup. Setiap kegiatan manusia tidak lepas dari penggunaan air, seperti kegiatan MCK, minum, dan kegiatan industri. Akan tetapi kegiatan-kegiatan manusia ternyata membawa dampak negatif bagi keberadaan air itu sendiri. Telah terjadi pencemaran air akibat limbah dari semua kegiatan manusia, seperti membuang sampah di sungai, limbah domestik bahkan limbah industri dan limbah pertanian.
Persoalan kerusakan lingkungan akibat industri dan rumah tangga, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia sudah sangat kompleks dan sudah menghawatirkan. Karena itu perlu kesadaran semua pihak untuk turut menangani pencemaran lingkungan. Pemerintah melalui kebijakan dan aturan harus mampu mengatur industri dalam pengolahan limbah baik cair, kayu dan udara. Pihak industri pun harus menyadari peranan pencemarannya yang sangat besar sehingga harus mau membangun pengolahan limbah. Masyarakat pun harus mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengolahan limbah rumah tangga dan lingkungan sekitar sehingga kelestarian lingkungan baik, udara, tanah maupun air dapat terjaga dengan baik.
Demi kelangsungan air untuk kehidupan sudah semestinya kita mengelola air limbah sebelum memasuki badan air. Sesuai dengan siklus hidrologi, jumlah air di muka bumi adalah konstan. Namun, akibat pencemaran limbah air mengalami penurunan kualitas hingga tidak dapat dipergunakan. Misalnya di beberapa tempat air tanah telah mengalami penurunan kualitas akibat perembesan limbah cair domestik, industri dan pertanian.

ANEKA RAGAM HAYATI

HALIMUN SALAK ANTARA ANEKA HAYATI DAN ANEKA TAMBANG
Perubahan fungsi kawasan hutan diamanatkan dalam Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 19) disebutkan bahwa perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselengarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompentensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan fihak lain lain yang terkait. Perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila areal kawasan yang dirubah fungsi memenuhi criteria dan standar penetapan fungsi hutannya. Kawasan hutan konservasi melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, pengelolaannya lebih kepada menjaga kelestarian lingkungan namun kurang memperhatikan aspek ekonomis dan aspek sosial. Sehingga dalam pelaksanaan dilapangan menimbulkan dikotomi yang saling bertolak belakang antara aspek ekonomis dan aspek sosial disatu sisi dan disisi lain adalah persoalan lingkungan.
Halimun dan salak adalah dua buah kata yang belakangan ini menjadi perhatian beberapa kalangan. Istilah tersebut berasal dari nama kelompok Hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Isu Halimun Salak muncul setelah keluanya Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 Ha di
Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Pertimbangan perluasan TNGHS adalah bahwa kelompok hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Dengan keluarnya keputusan Menteri tersebut membawa konskwensi penafsiran yaitu kepastian hukum, kepastian usaha dan kepastian wilayah kerja perusahaan.

2. DAMPAK KEBERADAAN TAMBANG
Konservasi dan tambang adalah dua hal yang satu bertentangan dengan yang lainnya. Dan di Indonesia statement negatif akan keberadaan tambang cukup meluas, mungkin ulah beberapa kegiatan tambang yang tidak melaksanakan kewajiban merehabilitasi atau mereklamasi areal bekas tambang, bahkan terkesan meninggalkan begitu saja dan menyisakan kubangan-kubangan besar dengan kondisi yang tercemar. Sering diartikan bahwa tambang identik denan kerusakan lingkungan.
Menurut kajian Badan Planologi Kehutanan : 2005
Keberadaan kegiatan tambang dalam kawasan TNGHS mempunyai dampak yaitu dampak negatif : Konversi hutan banyak terjadi dipinggiran-pinggiran kawasan hutan (perbatasan), hal ini cukup membahayakan mengingat bentuk kawasan TNGHS yang berbentuk tidak beraturan (bentuk tangan). Sangat memudahkan terjadinya pemutusan areal kawasan (pragmentasi). Situasi dan kondisi pertambangan dalam kasawan hutan TNGHS terbagi dalam 13 Kecamatan dan 52 desa. Jumlah penduduk di dalam dan disekitar kawasan 16.000 Jiwa (Harada et al. 2003). Terdapat 347 Penambang Liar (TI) . PT . Antam Tbk, melakukan kegiatan penambangan dengan teknik/ sistem terowongan, mengunakan sianida dilengkapi dengan IPAL. Disamping itu adanya pertambangan di kawasan hutan TNGHS terutama oleh tambang Illegal. PT Antam berkaitan dengan pengelolaan tailing dan limbah. Komponen biofisik : kerusakan tanah dan lahan, hutan/vegetasi, penurunan kualitas air, sidimentasi badan air, pencemaran tanah, air dan sidimen sungai oleh Hg (S. Cikaniki, S. Cisadane), kontaminasi biota sungai oleh Hg (S. Cikaniki, S. Cisadane), kerusakan sistem hidrologi (neraca air, debit sungai). Penambangan secara illegal oleh PETI, telah berumur setua penambangan legal, sebagai pemacu aksesibilitas adalah pada saat multi krisis 1997, jumlah puncaknya th. 98/99, kurang lebih sebanyak 8000 orang. Teknik penambangan sistem terowongan, menggunakan merkuri tanpa memperdulikan lingkungan dan keselamatan, keadaannya jauh lebih merusak lingkungan. Lokasi PETI berupa spot-spot menyebar dalam hutan, dekat perkampungandan dalam kawasan KP PT Antam.
Disamping itu adapun dampak sosial adalah adanya konflik peti dengan PT Antam dan perambahan hutan.

3. Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Previae Lege Poenali
Adalah suatu azas yang bermaksud bahwa tiada suatu sanksi melainkan atas suatu ketentuan perundang-undangan yang terlebih dahulu menentukan. Dengan kata lain bahwa tidak boleh suatu ketentuan perundang-undangan berlaku surut.
Dengan telah diterbitkannya Surat Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003 atau penunjukan perluasan Taman Nasional Halimun Salak, pihak III yang melakukan beberapa kegiatan di luar sektor kehutanan yang telah mendapat ijin antara lain PT. ANTAM (ANEKA TAMBANG) dan PERTAMINA (UNOCAL) , perusahaan yang bergerak dibidang tambang mendadak sontak kebingungan. Karena areal kerja mereka termasuk kawasan hutan yang menjadi Taman Nasional. Kegiatan mereka yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan, kini menjadi kegiatan yang berdosa alias melanggar Undang-Undang karena menurut Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan dan Undang – Undang Nomor 5 Th. 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa dalam kawasan konservasi tidak diperkenankan adanya kegiatan diluar sektor kehutanan, kecuali beberapa kegiatan yang telah ditentukan. Terlebih lagi dalam amar keputusan Menteri tersebut tidak adanya klausul peralihan terhadap ijin-ijin pihak III yang telah exis selama ini. Pemahaman tersebut terpolarisasi menjadi dua ruang penafsiran, yang satu berpendapat dengan ditunjuk menjadi Taman Nasional kegiatan tambang melangar hukum sehingga kegiatan mereka harus dihentikan, sedangkan pendapat yang lain dengan pendekatan prinsip keadilan dan asas hukum tidak berlaku surut maka hal tersebut masih diperkenankan sampai ijin persetujauan pengunaan kawasan hutan berakhir. Berdasarkan azas hukum tidak berlaku surut maka kegiatan tambang dan ijin yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan tetap berlaku hingga jangka waktunya berakhir. Persoalannya apakah kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dapat dilakukan penyimpangan? Penyimpangan kontrak dapat dilakukan dengan syarat pihak – pihak yang melakukan perjanjian sepakat untuk melakukan penyimpangan. Jadi disini terdapat celah kompromi, karena itu manfaatkanlah seoptimal mungkin ruang kompromi tersebut.

4. Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Dilematis permasalah tersebut menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi. Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada pada posisi yang lemah.
Kedua azas hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum, dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan adalah kepastian hukum.

5. Konservasi existing Kontrak dan Manajemen Kolaboratif.
Dari beberapa pembahasan yang dilaksanakan, penulis pernah ikut dalam diskusi, berkembang pemahaman yaitu tetap dilakukan perluasan Taman Nasional., dengan desain zone khusus atau dengan nomenklatur zonasi lainnya. Jadi areal tambang ditetapkan sebagai zona khusus. Namun pendekatan model ini masih bertentangan dengan UU No. 41 Th. 1999 yaitu tambang tidak dibenarkan dalam kawasan konsevasi. Disamping itu menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Th. 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan pengunaan kawasan Hutan, Pasal 8 ayat (3) bahwa Taman Nasional dibagi kedalam tiga zonasi yaitu zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Dalam penjelasan dijelaskan bahwa zona lainnya adalah zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan zona lainnya. Sehingga pengaturan kegiatan pertambangan dalam zonasi adalah dua kegiatan yang secara filosofis satu dan lainnya bertentangan. Lalu bagaimana dengan Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam pasal 1 butir 3 dirumuskan bahwa kolaborasi adalah “pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawaana Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud para pihak meliputi Pemerintah Pusat termasuk Kepala UPT KSDA/TN, Pemda, kelompok masyarakat setempat, perorangan baik dari dalam maupun luar negeri, lembaga swadaya masyarakat setempat, national, regional dan internasional yang bekerja dibidang konservasi sumber daya alam hayati, BUMN, BUMD, BUMS atau perguruan tinggi/lembaga ilmiah/lembaga pendidikan. Sebagai solusi dilematis kegiatan ekonomi dan konservasi manajemen kolaboratif telah dilaksanakan pada beberapa kawasan konservasi,. Jadi manajemen kolaborasi diberlakukan terhadap kegiatan-kegiatan diluar sektor kehutanan (seperti jalan, kegiatan tambang (tertutup), yang telah exis sebelum kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004, ditentukan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan melalui kerjasama (kolaborasi) antara pengelola kawasan konservasi dengan pihak perusahaan. Adapun kegiatan dimaksud antara lain penataan kawaan, penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA), pemanfaatan kawasan, penelitian dan pengembangan, perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, pengembangan sumber daya manusia dalam rangka mendukung pengelolaan KSA dan KPA, pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi dan pembinaan partisipasi masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya memberlakukan keputusan 175 tidaklah masalah, dengan catatan ijin-ijin pihak ke III yang telah ada sebelum perluasan Taman Nasional tetap berlaku hingga jangka waktunya berakhir.

6. SISI LAIN
Penunjukan kawasan hutan pada kenyataannya banyak menimbulkan persoalan dan kendala. Sering aturan yang dibuat malah menjebak dan menyulitkan kita sendiri, yang semestinya tidak perlu terjadi dan bisa diatasi melalui penetapan klausul pada amaar penetapan penunjukan. Adapun sisi lain yang memerlukan pemahaman dengan penununjukan kawasan hutan yaitu mana kala penunjukan tersebut berimplikasi pada perubahan fungsi yang menurut UU No. 41 Th. 1999 dipersyaratkan melalui tim terpadu. Sementara perubahan fungsi dalam penunjukan kawasan hutan tidak melalui tim terpadu. Disamping itu kekuatan hukum terhadap kawasan hutan yang baru pada tahap penunjukan, posisi hukumnya masih lemah. Tata batas belum dapat dilaksanakan karena adanya beberapa persoalan terhadap kawasan hutan yang akan ditata batas (pendudukan, perambahan dan atau klaim masyarakat).

4. PENUTUP
Pengelolaan hutan harus dapat memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial. Kenyataan selama ini dalam praktek sehari-hari ketiga prinsip tersebut berjalan sendiri-sendiri dan masing-masing secara argumentatif mengandung perdebatan. Idialnya bagaimana ketiga prinsif lestari berjalan sinergis. Berkaitan dengan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, menurut hemat penulis adalah penerapan Keputusan Menteri kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan beberapa catatan bahwa ijin-ijin pihak III yang telah ada tetap berlaku hingga jangka waktu yang ditentukan berakhir, merupakan kebijakan yang dapat mengakomodir beberapa aspek, tanpa mengabaikan aspek hukum. Bagi perusahaan akan dapat diharapkan terwujudnya kepastian usaha dan kepastian lahan, dengan demikian diharapkan kegiatan pihak ketiga disamping menyerap tenaga kerja, meningkatkan ekonomi lokal melainkan juga ANEKA TAMBANG dan ANEKA HAYATI dua istilah yang tidak pada posisi berhadapan, melalui kolaborasi , perusahaan dapat dibebani kewajiban-kewajiban, menjaga keamanan, kelestarian, yang lebih penting kewajiban rehabilitasi dan reklamasi harus lebih strik. Sebagai informasi PT Antam Tbk telah memperoleh prestasi Th. 2000, ISO 9002 (quality management). Th. 2001, ISO 14001 (Environtmental management).Terlepas dari semua itu, muncul pertanyaan, apakah dengan peningkatan fungsi kawasan hutan, kelestarian akan lebih terjamin ? Kawasan hutan produksi dan hutan lindung mendapat kontrol rutin dari aparat Perum Perhutani (di Jawa) atau aparat Dinas Kehutanan, setelah meningkat fungsi menjadi kawasan konservasi dibawah pengawasan BKSDA. Data menunjukan kondisi BKSDA sekarang dengan tenaga Polhut dan sarana pendukung sangat jauh dari memadai, penunjukan kawasan hutan konservasi di beberapa tempat justru kontraproduktif, yaitu pengamanan dan perlindungan kawasan menjadi kurang optimal

DAFTAR PUSTAKA
http://amisillymale.wordpress.com/
Undang-Undang karena menurut Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan Peraturan Menteri No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah No. 34 Th. 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003
Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003

undang undang nomor 41 tahun 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
  2. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;
  3. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
  4. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
  4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
  5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
  6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
  7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
  2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
  3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
  4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
  5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
  6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
  7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
  8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
  10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
  11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
  13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
  14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Bagian Kedua

Asas dan Tujuan

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Pasal 3

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

  1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
  2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
  3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
  4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
  5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagian Ketiga

Penguasaan Hutan

Pasal 4

  1. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  2. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

    1. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    2. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
    3. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
  1. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

BAB II

STATUS DAN FUNGSI HUTAN

Pasal 5

  1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
    1. hutan negara, dan
    2. hutan hak.
  2. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
  3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
  4. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pasal 6

  1. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
    1. fungsi konservasi,
    2. fungsi lindung, dan
    3. fungsi produksi.
  2. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
    1. hutan konservasi,
    2. hutan lindung, dan
    3. hutan produksi.

Pasal 7

Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:

  1. kawasan hutan suaka alam,
  2. kawasan hutan pelestarian alam, dan
  3. taman buru.

Pasal 8

  1. Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
  2. Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti:
    1. penelitian dan pengembangan,
    2. pendidikan dan latihan, dan
    3. religi dan budaya.
  3. Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9

  1. Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
  2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah

BAB III

PENGURUSAN HUTAN

Pasal 10

  1. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
  2. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
    1. perencanaan kehutanan,
    2. pengelolaan hutan,
    3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
    4. pengawasan.

BAB IV

PERENCANAAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 11

  1. Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
  2. Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.

Pasal 12

Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:

  1. inventarisasi hutan,
  2. pengukuhan kawasan hutan,
  3. penatagunaan kawasan hutan,
  4. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
  5. penyusunan rencana kehutanan.

Bagian Kedua

Inventarisasi Hutan

Pasal 13

  1. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
  2. Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
  3. Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
    1. inventarisasi hutan tingkat nasional,
    2. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
    3. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
    4. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
  4. Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
  5. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Pengukuhan Kawasan Hutan

Pasal 14

  1. Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
  2. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.

Pasal 15

  1. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
    1. penunjukan kawasan hutan,
    2. penataan batas kawasan hutan,
    3. pemetaan kawasan hutan, dan
    4. penetapan kawasan hutan.
  2. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Keempat

Penatagunaan Kawasan Hutan

Pasal 16

  1. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
  2. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

Pasal 17

  1. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
    1. propinsi,
    2. kabupaten/kota, dan
    3. unit pengelolaan.
  2. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
  3. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.

Pasal 18

  1. Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
  2. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Pasal 19

  1. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
  2. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Penyusunan Rencana Kehutanan

Pasal 20

  1. Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.
  2. Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PENGELOLAAN HUTAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 21

Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:

  1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
  2. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
  3. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
  4. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Bagian Kedua

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pasal 22

  1. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
  2. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
  3. Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.
  4. Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
  5. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 23

Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

Pasal 24

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Pasal 25

Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26

  1. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
  2. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 27

  1. Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi.
  2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi,
    3. badan usaha milik swasta Indonesia,
    4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
  3. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi.

Pasal 28

  1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
  2. Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29

  1. Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi.
  2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi,
    3. badan usaha milik swasta Indonesia,
    4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
  3. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi,
    3. badan usaha milik swasta Indonesia,
    4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
  4. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi,
    3. badan usaha milik swasta Indonesia,
    4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
  5. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
    1. perorangan,
    2. koperasi.

Pasal 30

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.

Pasal 31

  1. Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
  2. Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.

Pasal 33

  1. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.
  2. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
  3. Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:

  1. masyarakat hukum adat,
  2. lembaga pendidikan,
  3. lembaga penelitian,
  4. lembaga sosial dan keagamaan.

Pasal 35

  1. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
  2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
  3. Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
  4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

  1. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
  2. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 37

  1. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
  2. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 38

  1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
  2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
  3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
  4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
  5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 39

Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Pasal 40

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pasal 41

  1. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
    1. reboisasi,
    2. penghijauan,
    3. pemeliharaan,
    4. pengayaan tanaman, atau
    5. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
  2. Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

Pasal 42

  1. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
  2. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

  1. Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.
  2. Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.

Pasal 44

  1. Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
  2. Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

  1. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
  2. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
  3. Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
  4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Pasal 46

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Pasal 47

Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

  1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
  2. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Pasal 48

  1. Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
  2. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.
  3. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
  4. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
  5. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
  6. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 50

  1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
  2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
  3. Setiap orang dilarang:
    1. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
    2. merambah kawasan hutan;
    3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
      1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
      2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
      3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
      4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
      5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
      6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
    4. membakar hutan;
    5. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
    6. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
    7. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
    8. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
    9. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
    10. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
    11. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
    12. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
    13. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
  4. Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51

  1. Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
  2. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
    1. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
    2. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
    3. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    4. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    5. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
    6. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

BAB VI

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN

LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 52

  1. Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.
  2. Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
  3. Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.

Bagian Kedua

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pasal 53

  1. Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.
  2. Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
  3. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat.
  4. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

Pasal 54

  1. Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.
  2. Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Pendidikan dan Latihan Kehutanan

Pasal 55

  1. Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.
  2. Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  3. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
  4. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Keempat

Penyuluhan Kehutanan

Pasal 56

  1. Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
  2. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
  3. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.

Bagian Kelima

Pendanaan dan Prasarana

Pasal 57

  1. Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
  2. Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 59

Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Pasal 60

  1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
  2. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.

Pasal 61

Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Pasal 62

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Pasal 63

Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.

Pasal 64

Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PENYERAHAN KEWENANGAN

Pasal 66

  1. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
  2. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 67

  1. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
    1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
    2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
    3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
  2. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 68

  1. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
  2. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
    1. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    2. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
    3. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
    4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
  3. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69

  1. Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
  2. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

Pasal 70

  1. Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
  2. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
  3. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
  4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 71

  1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
  2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 73

  1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
  2. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
    1. berbentuk badan hukum;
    2. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
    3. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XII

PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN

Pasal 74

  1. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
  2. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.

Pasal 75

  1. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  2. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
  3. Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Pasal 76

  1. Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
  2. Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 77

  1. Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
  2. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
    4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    5. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
    6. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
    7. membuat dan menanda-tangani berita acara;
    8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
  3. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB XIV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

  1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  2. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  3. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  4. Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
  5. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  6. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  7. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
  8. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
  9. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  10. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  11. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  12. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  13. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
  14. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
  15. Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 79

  1. Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
  2. Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB XV

GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 80

  1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
  2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 82

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:

  1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).

Pasal 84

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta

pada tanggal 30 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MULADI